Siang itu, seperti biasa sepulang dari kampus, aku disambut oleh teriknya matahari yang sangat panas.Ku sandarkan tubuhku di sebuah halte yang tak jauh dari kampus. Ku lepas tas ranselku dan ku ambil sebuah novel bersampul biru langit dari tasku. Ku biarkan tas itu tergeletak disampingku. Sambil menunggu angkot, ku bacanovel  bersampul biru langit itu. Novel itu baru saja ku pinjam dari seorang sahabatku, Raihan.Raihan adalah seorang sahabat terbaikku yang pernah ku kenal.Iaselalu mengingatkanku dalam kebenaran dan kesabaran. Hampir setiap saat, ia mengirimkan sms tausiyah yang senantiasa ku tunggu-tunggu. Aku mengenalnya dari  awal masuk kuliah hingga kini. Kehadiran Raihan dalam hidupku membawa dampak positif bagiku terlebih bagi agamaku.Sejak bersahabat dengannya, diam-diam aku menyimpan rasa yang selama ini ku pendam.Hampir setahun aku memendam perasaan itu.Sayangnya, Raihan tak pernah tahu tentang hal ini.
Awalnya aku tak menyangka bisa menaruh hati kepada sahabatku sendiri.Sampai saat ini, aku masih belum mampu tuk mengungkapnya.Hidup bersamanya dan menjadi Zaujatinya adalah impianku.Aku mencintai Raihan karena agama yang ada pada dirinya.
Ditengah-tengah keasyikan membacaku, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.
“Kak, surat undangannya jatuh.” sapa seorang anak laki-laki kira-kira berumur 7 tahun.Aku tersentak kaget dan bertanya-tanya dalam hati, “Sejak kapan aku menerima surat undangan??”
“Ini surat undangan milik kakak kan?”tanya anak laki-laki itu.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambilnya dari tangan si mungil itu.
                “Ooh..iya. Itu milik kakak. Makasih ya Dik..”ujarku.
                “Sama-sama Kak..”ungkap anak laki-laki itu sambil berlalu pergi.
Aku penasaran dengan isi surat undangan pernikahan itu. Segera ku tutup novel yang sedang ku baca dan dengan cepat tanganku membuka surat undangan itu. Dalam surat undangan pernikahan itu tertulis nama sahabatku, Raihan Al Hafidz dengan Zahra Auliyah. Seketika itu, sekujur tubuhku terasa begitu lemas. Selama ini Raihan tak pernah bercerita bahwa ia sudah memiliki calon pendamping hidup. Apalagi berencana untuk menikah.
                “Raihan….”lirihku dalam hati.
Aku masih tak percaya dengan surat undangan yang baru saja ku baca. Aku segera berdiri dan mengambil tas ranselku. Aku berlari menuju kampus berharap aku bisa bertemu dengan Raihan.
                Terlihat Raihan sedang duduk di bawah pohon beringin berteman dengan sebuah laptopnya. Rupanya ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak ku ketahui.
                “Raihan....!!!!” teriakku.
Ia menoleh kearahku dan tersenyum.
                “Ada apa ya Ukhtie..” sapa Raihan.
                “Aku ingin berbicara sesuatu padamu.”ujarku dengan nafas terengah-engah.
                “Sebelum bicara, sebaiknya kau minum dulu…”ujar Raihan sambil memberiku sebotol air mineral.
                “Syukron ya Akhie.. ” ujarku.
Aku langsung meminumnya dan mencoba menenangkan nafasku yang sempat terengah-engah.
                “Oh ya..bicara tentang apa ya Ukhtie..”tanya Raihan.
                “Tentang surat undangan pernikahan ini.”sahutku sambil menunjukkan surat undangan itu padanya.
                “Ooh..surat undangan itu? Kau baru membacanya ya??”tanya Raihan.
                “Iya, tadi sewaktu aku menunggu angkot dan membaca novelmu, ada seorang anak laki-laki yang mengaku bahwa ia menemukan surat undangan ini jatuh.Memangnya kapan kau memberiku surat undangan pernikahan ini?”
                “Aku memang tidak memberi surat undangan itu secara langsung padamu.Aku ingin membuat kejutan untukmu.Makanya, aku selipkan undangan itu pada lembaran-lembaran dari novel yang kau pinjam tadi.”jelasnya.
                “Benarkah??”tanyaku tak percaya.
                “Apa wajahku tampak sedang bercanda?”Cakap Raihan sambil tersenyum.
                “Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau sudah punya calon pendamping hidup dan sebentar lagi kau akan menikah??”
                “Afwan ya Ukhtie.., aku cuma ingin memberimu kejutan dan membuatmu senang ketika kau tiba-tiba mendengar kabar bahwa  aku akan menikah.”
                “Kejutan katamu???”ujarku  kaget.
Seketika itu, aku langsung terdiam dan menundukkan kepalaku.Tiba-tiba dadaku terasa begitu sesak.
                “Ada apa ya Ukhtie? Kamu sakit?”tanya Raihan.
Aku masih tetap diam menahan rasa sakit yang terus menjalar dalam dadaku. Melihat ada sesuatu yang aneh denganku, tiba-tiba Raihan mematikan laptopnya dan segera mengemasinya dalam tas ranselnya. Ia segera mendekatiku dan bertanya sekali lagi,”Kamu sakit??”bisiknya.
                “Tidak, aku tidak sakit Raihan…”lirihku pelan.
                “Lantas, kenapa tiba-tiba kau diam?Aku jadi tak mengerti.”
Aku kembali menundukkan kepalaku.Aku merasa sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk bicara.Aku masih tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. “Aku tidak bisa..ya Rabb..”lirihku dalam hati.
Sementara itu, Raihan masih duduk di sampingku.Tiba-tiba airmataku mengalir keluar membasahi pipiku.Raihan yang duduk di dekatku nampak kebingungan.
                “Kau kenapa ya Ukhtie.., Apa karena surat undangan itu yang membuatmu begini? Afwan ya Ukhtie..”ujarnya.
Aku masih saja terdiam dan menangis mencoba untuk tetap menahan perasaan itu.
                “Bicaralah ya Ukhtie…”pinta Raihan.
Rupanya, aku sudah tidak sanggup lagi tuk menahannya.Aku bertekad untuk mengungkapkan perasaan itu. Sebelum dia menjadi suami orang lain, tak ada salahnya bagiku tuk sekedar mengungkapkan perasaan itu tanpa berharap ia akan membatalkan pernikahannya.
                “Aku mencintaimu ya Akhie…, Aku mencintaimu karena agama yang kau miliki.Sungguh aku mencintaimu karena Allah ya Akhie..”ujarku dengan nada terisak-isak.
Raihan tersenyum mendengarnya dan membalas,” Semoga Allah yang menjadikanmu mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku. “
                “Aamiin ya Rabbal ‘alamin..”lirihku pelan.
                “Afwan ya Ukhtie, aku tidak bisa menikahimu.Aku tidak bisa mewujudkan impianmu tuk menjadi makmumku.Mungkin, aku bukanlah laki-laki yang Allah pilihkan tuk menjadi imammu.Sungguh, kaulah sahabat terbaikku.Tegarkanlah hatimu dan aku mohon keikhlasanmu tuk ijinkan aku menikah dengan Zahra.”
                “Iya akhie.., sungguh aku telah ikhlas karena Allah semata.Semoga kau menjadi Zaujie yang mampu membimbing zaujatimu menuju JannahNya. Aamiin..”
                “Aamiin..syukron atas do’anya ya Ukhtie..”ungkap Raihan senang.
Tiba-tiba Raihan mengambil sebuah Al-qur’an dalam tas ranselnya.
                “Aku berikan Al-qur’an ini untukmu.Jika suatu saat kau menemukan kegundahan dalam hidupmu, bacalah Al-qur’an ini agar Allah senantiasa menyejukkan hatimu. Dan biarkan Al-qur’an ini yang akan selalu menghiasi perjalanan hidupmu. Terimalah sebagai tanda persahabatan kita karena Allah.Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. La Tahzan ya Ukhtie…”
                “Iya.., syukron ya Akhie..”ujarku senang.
***
Cinta karena Allah sangatlah berbeda dengan cinta karena syahwat yang memuncak di hati kita. Cinta karena Allah adalah mencintai iman, agama dan akhlak yang dimiliki oleh seseorang itu. Cinta karena Allah akan senantiasa membawa kita tuk dekat denganNya. Semakin kita mencintainya karena Allah, semakin kita dekat dengan Rabb kita.
                Memiliki rasa cinta kepada iman dan orang-orang mu’min merupakan rahmat dan karunia Allah yang besar.Ini merupakan kasih sayang Allah kepada setiap insan Mu’min. Rasulullah bersabda, “ Tiang yang paling kokoh dan iman adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah" (HR. Muslim)
                “Ya Allah sesungguhnya kami memohon kecintaan kepada-Mu, mencintai orang-orang yang Engkau cintai dan mencintai amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri pada cinta-Mu dan jadikanlah kecintaan kami kepada-Mu melebihi kecintaan kami pada diri kami, keluarga kami, dan air dingin yang segar.”

Akhir kata, “Tidak perlu bersedih, ketika orang yang kita cintai memilih orang lain tuk dijadikan pasangan hidup. Yakinlah, Allah akan telah menyiapkan seseorang yang jauh lebih pantas bagi anda. Tetap cintai saudara anda karena Allah.”