Barusaja aku resmi diterima sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Malang. Setelah mengalami kegagalan  2 kali masuk PTN, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah di swasta. Jarak antara kampus dan rumahku cukup jauh. Bila ditempuh dengan mobil hanya 2 jam tapi jika ditempuh dengan naik bis bisa memakan waktu 4-5 jam. Sayangnya, aku bukanlah orang kaya yang punya mobil. Terpaksa aku harus naik bis menuju kampus. Sebagai mahasiswa baru, banyak kegiatan kampus yang harus aku lakukan. Misalnya, kegiatan ospek, penggalian potensi, aplinet dll.
                Pagi itu, tepatnya hari kamis, aku harus ke kampus untuk menghadiri kegiatan penggalian potensi. Kebetulan acara tersebut dimulai jam 1 siang. Aku berangkat hanya berdua dengan Ayah. Aku tak menyangka Ayah mau menemaniku.  Padahal, dulu sewaktu aku masih SMP dan SMA, Ayah tak pernah ikut campur mengurusi kegiatan sekolahku apalagi mengantarkanku ke sekolah. Tidak mungkin. Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
                Di dalam bis,aku seperti bermimpi bisa duduk berdua dengan Ayah. Rasanya aku ingin menangis. Melihat wajah Ayah yang tidur disampingku. Wajah Ayah nampak lelah. Mungkin terlalu banyak beban keluarga yang dipikirnya terutama aku, putri sulungnya. Aku merasa bersalah. Saat SMP dan SMA aku berpikir bahwa Ayah tidak pernah peduli denganku, ternyata itu salah. Sekarang Ayah disampingku, sedang terlelap dalam tidurnya. Dadaku terasa sesak menahan airmataku agar tidak jatuh. Berulang kali aku mengedip-ngedipkan kedua mataku.
                Setelah 3 jam dalam perjalanan, akhirnya sampai juga diterminal Arjosari. Aku dan Ayah masih harus naik angkot ADL atau AL untuk menuju terminal Landungsari. Didalam angkot terasa begitu sesak. Saking banyaknya penumpang, aku dan Ayah sampai tidak bisa bergerak. Aku menatap wajah Ayah dalam-dalam. Lagi-lagi aku merasa bersalah. Aku telah membuatnya susah.
“Ayah, maafkan aku telah menyusahkanmu.”batinku.
Setelah 1 jam, akhirnya sampai di terminal Landungsari, aku dan Ayah harus berjalan kaki sejauh 500 km untuk menuju kampus. Cuaca sangat panas. Aku dan Ayah berjalan berdua melewati sawah dan menyebrangi sungai. Sungguh perjalanan yang sangat luarbiasa.
                Tepat pukul 12 siang, akhirnya sampai juga di kampus. Acara masih belum dimulai. Setelah sholat, Ayah menemaniku mencari tempat yang tertera dalam jadwal. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Setelah itu Ayah meninggalkanku bersama seorang teman yang baru ku kenal. Sebut saja Lia. Ia adalah siswi alumni gontor yang sangat fasih berbicara bahasa inggris dan arab. Ditengah-tengah obrolanku dengannya, aku menoleh kebelakang mencari Ayah. Terlihat Ayah sedang duduk seorang diri di samping perpustakaan. Aku pun berteriak,”Ayah, tunggu aku ya..”
Ayah hanya mengangguk. Aku sedikit lega.  Gak seperti biasanya, Ayah betah menunggu. Kulihat jam ponsel sudah menunjukkan jam 1, aku dan teman baruku bergegas masuk  ruangan yang tertera dalam jadwal. Sesampai  disana, ada sekumpilan kakak tingkat yang bertugas mengecek  berkas - berkas kami. Temanku, Lia kebingungan. Berkas yang dia bawa tidak lengkap. Spontan kami meminta ijin keluar kepada panitia.
                “Ifa, maaf ngerepotin. Jangan marah ya.. temenin aku fotocopy..”pinta Lia penuh harap.
                “Iya.. gak apa2..makanya lain kali dicek dulu, jangan diulangi lagi..”sahutku.
Akhirnya kami keluar ruangan mencari jasa fotocopy disekililing kampus. Alhamdulillah, tidak jauh dari tempat itu, kami menemukan jasa fotocopy.
                “Mas, Tolong fotocopy ini 1 lembar dan scan foto ini 5 lembar.”pinta Lia.
Hanya dalam hitungan menit, akhirnya selesai.
                “Semuanya 5.200 mbak..”
                “Oh..Ini..”(sambil menyerahkan uang dengan nominal 10.000).
                “Wah, gak ada kembaliannya mbak, ada uang pas?”
                “Oh, ya sudah kembaliannya buat mbak itu.”(sambil menunjuk salah seorang konsumen).
                “Temannya ya mbak?”
                “Bukan, ya sudah jazakillah..”sahut Lia.
Dalam hatiku, aku berucap ‘subhanallah’. Secara tidak langsung, teman baruku ini mengajarkanku arti berbagi.  Tanpa ada rasa ragu, ia memberi uang kembaliannya kepada konsumen lain yang belum ia kenal. Baru pertama kali aku menemukan orang seperti Lia. Kami bergegas memasuki ruangan. Lia langsung menyerahkan berkasnya.
                “Ok.. sudah lengkap. Silahkan kalian antri disana bersama teman yang lain.”kata Panitia.
Kami menuruti apa yang panitia katakan. Tak lama kami mengantri, akhirnya kami di tes .
                Tes berlangsung selama 3 jam, akhirnya selesai. Aku langsung meminta ijin kepada Lia untuk pulang terlebih dahulu. Aku segera menemui Ayah di samping perpustakaan. Kulihat Ayah sedang mengobrol dengan seorang pria setengah baya. Rupanya pria itu juga sedang menunggu anaknya. Kami segera berpamitan kepada pria setengah baya itu.
                “Mari Pak, assalamu’alaikum.”kata Ayah sambil menganggukkan kepalanya.
                Aku dan Ayah jalan berdua menuju terminal. Perjalanan menuju terminal sekitar 1 jam. Di dalam angkot, aku menceritakan kejadian yang  barusaja aku alami bersama teman baruku. Lia. Rupanya Ayah senang mendengar ceritaku.
                “Ayah, tadi Lia nawarin aku untuk mampir ke rumahnya, malah disuruh menginap.”
                “Iyaa.. kapan-kapan saja kita mampir ke rumahnya.” sahut Ayah sambil tersenyum.
Sesampai di terminal Arjosari, aku dan Ayah berbuka  puasa dengan menu seadanya dan melanjutnya perjalanan pulang. Di dalam bis, aku tidak tega melihat wajah Ayah yang nampak sangat kelelahan. Aku bangga dan aku cinta kepada Ayah. Namun, aku bukanlah gadis Ayah yang pandai mengungkapkan rasa sayangku kepada Ayah. Aku hanya berusaha menuruti semua perintahnya selama tidak keluar syari’at. Ditengah kenyamananku duduk dalam bis, tiba-tiba bis berhenti. Seorang kondektur menyuruh para penumpang untuk pindah ke bis lain tanpa alasan. Spontan, kami pindah begitu saja.
                Di dalam bis lain, seorang kondektur menghampiri kami. Ia meminta karcis bis sebelumnya.
                “Pak, karcisnya ketinggalan di bis sebelumnya.”jawab Ayah.
                “Wah, tidak bisa begitu . Kalau karcisnya hilang bagaimana saya harus bertanggungjawab?”
                “Saya sudah bayar tapi kami lupa karcisnya.”sahut Ayah mulai jengkel.
Kondektur tersebut melirik kepadaku dan menanyakan karcis. Ayah langsung menjawab dengan tegas, “Ini anakku, kami sudah membayar 2 karcis. Tapi kami lupa.”
                “Wah, gimana ini Pak? Bapak tidak punya bukti.  Bapak harus bayar lagi.”
                “Pak, kita sudah bayar kok. Tapi karcis kita ketinggalan.”sahutku jengkel.
                “Ya sudah, kami turun disini saja.”ujar Ayah sambil menarik tanganku.
                “EeehH.. tunggu Pak. Jangan seperti itu.”kata kondektur sambil mencoba menahan.
                “Kalau kami disuruh bayar lagi, kami tidak mau.”jawab Ayah dengan marah.
Suasana di dalam bis semakin panas. Sementara aku dan Ayah memaksa untuk turun dari bis.
                “Ya sudah Pak, saya cek lagi. Bapak duduk disini saja.”pinta Kondektur.
Aku dan Ayah kembali duduk di tempat semula. Aku melihat wajah Ayah nampak kesal. Aku memaklumi hal itu. Aku pun juga ikut geram kepada kondektur itu.
                Beberapa menit kemudian, kondektur itu menghampiri kami lagi.
                “Maaf Pak, tadi ada kesalahan. Ternyata benar, Bapak sudah bayar. Maaf ya Pak..”ujar kondektur.
                “Iya sama-sama.”jawab Ayah.
Aku sedikit lega mendengar pernyataan Pak kondektur tadi. Akhirnya, kami bisa menikmati perjalanan pulang kami dengan tenang.
                                                                                ***


                Cerita diatas adalah kisah nyata penulis. Mungkin dapat diambil hikmah dari cerita tersebut. Sejatinya laki-laki yang biasa kita panggil dengan sebutan ‘Ayah’ adalah laki-laki yang sangat menyayangi kita. Ayah selalu memberi yang terbaik untuk anaknya. Seperti cerita diatas, seorang Ayah rela meluangkan waktunya untuk mengantarkan putrinya dan menunggunya hingga beberapa jam. Padahal menunggu adalah hal yang sangat dibenci laki-laki. So, Keep positive feeling to our father.