Siang itu, tepatnya pukul 13.00, Zahra mengambil sepedanya yang ia
parkir di tempat parkir sekolahnya. Wajahnya terlihat begitu lelah. Dengan
pakaian putih biru dan tas ranselnya yang berada dipundakknya, ia perlahan-lahan
mengayuh sepedanya. Panas terik matahari sudah biasa menemaninya dalam
perjalanan pulang. Dalam perjalanan, Zahra di salip sebuah mobil sedan yang
sangat ia kenal. Mobil itu milik Pak Andi, ayah dari teman dekatnya yang
bernama Nina.
“Zahra….duluan yaa..”teriak Nina sambil berlalu pergi.
Zahra hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia merasa iri
dengan temannya itu. Zahra juga ingin seperti dia yang setiap hari
diantarjemput oleh ayahnya. Sementara , ayah Zahra tidak pernah mengantarkannya
ke sekolah apalagi menjemputnya. Sejak kelas 2 SD, ia sudah terbiasa berangkat
sekolah sendiri dengan sepedanya tanpa seorang ayah yang mengantarkannya. Sesampai
dirumah, ia bertemu dengan ibunya. Seperti biasa ia mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum..”sambil
mencium tangan ibunya.
“Wa’alaikumsalam.., capek ya..”sapa ibunya.
“Ayah mana , Bu??”tanya Zahra dengan nada kesal.
“Ayahmu sedang kerja, Nak. Memangnya ada apa?”
“Wa’alaikumsalam.., capek ya..”sapa ibunya.
“Ayah mana , Bu??”tanya Zahra dengan nada kesal.
“Ayahmu sedang kerja, Nak. Memangnya ada apa?”
Tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya, ia langsung pergi ke kamar dan
menguncinya. Sang ibu merasa heran melihat tingkah putrinya yang baru
kelas 1 SMP itu. Tanpa berfikir panjang,
sang ibu mengetuk pintu kamar Zahra.
“Nak, ada apa? Kamu pasti
lapar ya? Yuk, kita makan siang bersama.”sambil mengetuk pimtu.
“Zahra gak mau makan
sampai Ayah pulang.”sahut Zahra dari dalam kamar.
“Ayah pulang jam 7
malam. Apa kamu sanggup menahan rasa laparmu?”
“SANGGUP, Bu..”teriak Zahra dengan nada kesal.
“SANGGUP, Bu..”teriak Zahra dengan nada kesal.
Akhirnya sang ibu membiarkan Zahra didalam kamarnya. Dalam hati sang ibu
bertanya-tanya, “ada apa dengan Zahra?”
Hingga pukul 7 malam, Zahra masih saja mengurung dalam kamarnya. Sementara sang ibu, masih saja terus menerus mengetuk pintu kamarnya sambil membujuk putri sulungnya agar mau makan. Namun jawaban Zahra tetap sama yaitu ia akan makan sampai ayahnya pulang.
Hingga pukul 7 malam, Zahra masih saja mengurung dalam kamarnya. Sementara sang ibu, masih saja terus menerus mengetuk pintu kamarnya sambil membujuk putri sulungnya agar mau makan. Namun jawaban Zahra tetap sama yaitu ia akan makan sampai ayahnya pulang.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil. Zahra tahu pemilik bunyi klakson
mobil itu adalah ayahnya. Sang ibu bergegas keluar membuka pintu gerbang. Zahra
pun ikut keluar menyusul ibunya. Begitu sang ayah keluar dari mobil, Zahra
langsung menghampiri ayahnya dan mencium tangannya. Ia menatap wajah sang ayah
dan bertanya,”Ayah, apa ayah sudah tidak sayang lagi sama Zahra?”
Mendengar hal itu, sang ayah kaget. “Kenapa kamu bertanya seperti itu,
Nak?”tanya sang ayah.
“Zahra ingin seperti
Nina yang diantarjemput setiap hari ke sekolah, sementara Zahra? Tidak!! Zahra
ingin punya ayah seperti ayahnya Nina. Sangat perhatian kepada putrinya.”
Sang ayah tersenyum dan mengajak Zahra untuk duduk di teras depan,
sementara sang ibu bergegas masuk ke dalam untuk menyiapkan makan malam. Di
teras depan, sang ayah menatap mata putrinya dan menggenggam tangannya.
“Nak, maaf jika
selama ini ayah belum bisa menjadi orang tua seperti yang Zahra inginkan. Yang
ayah bisa lakukan hanyalah ini: Ketika kau terlelap dalam tidurmu, Ayah menarik
selimut agar nyamuk tidak mengganggu tidurmu. Ketika Ayah akan berangkat kerja,
Ayah selalu menyempatkan waktu untuk masuk ke kamarmu bermaksud untuk
berpamitan padamu, tapi kau masih tertidur pulas dan ketika ayah pulang kerja,
Ayah sebenarnya ingin mengobrol denganmu tapi Ayah lihat kamu sibuk dengan
tugas-tugasmu. Setiap malam Ayah hanya bisa melihat wajahmu yang cantik dan
mendoakanmu agar kamu tumbuh menjadi anak yang sholehah, pintar, baik hati,
sayang kepada orang tuamu, bermanfaat untuk keluarga maupun orang lain dan
sukses dunia akhirat. Nak, Ayah bekerja seharian untuk mencukupi kebutuhanmu,
bukan untuk siapa-siapa. Ayah sanggup menahan dinginnya udara dan terik
matahari, itu semua karena kamu. Ayah tidak pernah merasa lelah bekerja karena
Ayah ingat padamu dan ibumu. Ayah ingin membiayaimu sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Nak,
Ayah tahu, waktu ayah buatmu berkurang karena sibuk bekerja dan ayah sebenarnya
sedih tidak bisa menemanimu setiap saat. Tapi yakinlah Nak, kasih ayah untukmu
tidak akan pernah pudar. Ayah sayang padamu melebihi semua ayah di dunia
ini.”Ungkap sang ayah. Tiba-tiba air mata Zahra jatuh membasahi pipinya dan ia
pun memeluk tubuh sang ayah.
“Maaf Ayah, Zahra
sudah berpikir negative tentang ayah. Ternyata semua yang ayah lakukan
semata-mata untuk Zahra. Aku sayang Ayah..”
***
Seringkali, kita merasa seolah-olah Ayah kita sudah
tidak sayang lagi kepada kita karena sibuk dengan pekerjaannya. Kita merasa
kehilangan perhatiannya. Kita merasa Ayah kita sudah tidak peduli lagi dengan
kita. Intinya, kita merasa tak dianggap lagi sebagai anak karena kurangnya
perhatian yang Ayah berikan. Padahal, jika kita mau berpikir lagi, kita akan
sadar betapa besarnya kasih sayang seorang Ayah untuk anak-anaknya. Panas
matahari dan hujan deras sekalipun tak menjadi batu penghalang baginya untuk tidak
bekerja. Ayah tidak pernah mengeluhkan semua itu, karena ia sayang terhadap
anak-anaknya. Andai saja Ayah kita tidak bekerja, menghabiskan waktunya untuk
mengantarjemput kita ke sekolah dan menemani kita setiap saat. Lantas siapa
yang akan membayar uang bulanan sekolah? Siapa yang akan memberi uang belanja
untuk ibu? Siapa yang akan membayar tagihan listrik? Siapa yang akan memberi
uang saku? Siapa lagi kalau bukan AYAH??
Kasih sayang Ayah itu seperti angin. Tidak tampak tapi kita bisa
merasakannya jika kita mau membuka pikiran kita dan tidak menuruti ego. Cinta
seorang Ayah tidak akan pernah pudar walau usia kita telah menginjak dewasa. Ia
akan tetap mencintai kita dan mendoakan kebaikan untuk kita.
Aku sayang Ayah…
Semoga Bermanfaat J